Lipstik Merah untuk Hari Persamaan Gaji
Oleh Dahlan Iskan
Film itu dibuat 35
tahun lalu. Itu tahun kelahiran saya," ujar Ny Sloane Standly-Beasley,
pembicara di forum Equal Day Pay, Selasa lalu. "Tapi, keadaan yang
digambarkan dalam film itu masih sama sampai sekarang," tambahnya sambil
menahan sedu."
Film berjudul 9 to 5
(melambangkan jam kerja di perusahaan Amerika) itu"dibintangi Jane Fonda
dan Dolly Parton. Memang pas untuk menggambarkan perbedaan perlakuan kepada
pekerja perempuan. "Ini masih terjadi di sini. Di Amerika. Di tahun 2015,"
katanya. Di Amerika, katanya, pekerja perempuan dibayar kurang dari 80 persen
pekerja laki-laki.
Sloane mengisahkan
pengalamannya bekerja di perusahaan raksasa Amerika. Perusahaan itu masuk
Fortune 500 dalam ranking 20 besar. Dua tahun lalu perusahaan menambah pegawai
dua orang (semua kaki-laki) untuk posisi yang sama dengannya. Gaji orang baru
itu 3 dolar lebih tinggi daripada dia yang sudah berpengalaman enam tahun.
"Ini kelihatannya bukan selisih yang besar," kata Sloane. "Tapi,
kalau dikalikan setahun, sama nilainya dengan satu BMW seri 3," tambahnya.
Dia lantas mengadu dan menuntut perbaikan. Dua tahun belum
berhasil. Bahkan, akhirnya dia diberhentikan dengan alasan perusahaan ingin
lebih efisien melalui pengurangan 2.200 pekerja."
Sepuluh orang yang berbicara di forum itu mengeluhkan hal yang
sama. Mereka menyerukan perlunya perempuan untuk terus berjuang mendapatkan
persamaan hak. "Sebagai orang Indonesia, saya kaget melihat forum ini.
Benarkah kenyataannya seperti yang tergambar dari forum ini?" tanya saya
kepada Dr Robert Dion, satu-satunya pembicara laki-laki dari Universitas
Evansville, saat berbincang setelah acara itu. "Benar," ujar Dr Dion.
Saya lantas teringat kepada para perempuan yang saya angkat
jadi direktur. Baik di Jawa Pos Group maupun sewaktu di BUMN. Saya kemukakan
kepada Dion bahwa di Indonesia, negara yang jauh ketinggalan dari Amerika,
tidak ada perbedaan perlakuan antara pekerja kaki-laki dan perempuan seperti
itu.
"Sudah empat tahun kami selenggarakan acara seperti
ini," ujar Erica Taylor, CEO YWCA. "Kami inginkan tanggal 14 April
sebagai hari persamaan gaji antara laki-laki dan perempuan," katanya.
"Tapi, mengapa yang hadir kebanyakan pakai baju merah?" tanya saya.
"Ini lambang perjuangan kami," jawabnya.
Ny LaNeeca Williams,
staf Bagian Persamaan dan Keberagaman di Universitas Evansville, juga pakai
baju merah. Dia juga jadi pembicara yang menarik. Malam menjelang acara,
LaNecca menelepon anak perempuannya yang berumur 24 tahun yang tinggal di
Colorado. Dia minta anaknya mengenakan baju merah keesokan harinya. Sebagai
dukungan terhadap gerakan persamaan gaji. Suaminya pun, dan juga anaknya yang
masih berusia 8 tahun, mengenakan baju merah.
"Mom, tidak perlu
takut memperjuangkan itu," pesan anaknya. "Hanya mengurangi rasa takutlah
cara untuk menghilangkan perbedaan gaji ini," katanya. Tapi, sang anak
masih bisa menyelipkan humor. "Tapi, baiknya, Mama juga mampir ke toko
Walgreens, beli lipstik merah," katanya. Walgreens adalah toko untuk kelas
rata-rata.
"Pokoknya, Mama
besok harus menyerukan agar perempuan tidak punya rasa takut lagi," kata
sang anak.
"Untuk tidak takut
pakai lipstik merah?" sela sang ibu dengan nada getir.
Rupanya menyerukan agar
perempuan Amerika tidak takut menuntut persamaan gaji tidak semudah menyerukan
pemakaian lipstik merah.
LaNecca mengambil
contoh ibunya sendiri. Dia pun lantas menceritakan kisah hidup sang ibu yang
jadi penyangga utama keluarganya. Ibunya bekerja di perusahaan besar untuk sif
ketiga,"pukul 22.00 sampai 07.00. Dia berusaha cepat pulang agar bisa
melihat anak-anaknya berangkat sekolah. Sang ibu juga selalu hadir di pertemuan
orang tua murid. Juga masih harus bikin roti dan kue untuk makan anak-anaknya.
"Pokoknya, lagu I am Every Woman yang dinyanyikan Whitney Houston itu pas
untuk menggambarkan ibu saya," ujar LaNecca.
Ibunya, kata dia,
menerima gaji hanya 45 persen dari teman yang laki-laki di perusahaan yang
sama, di posisi yang sama. Tapi, ibunya tidak pernah mengeluh. "Saya hanya
sekali mendengar ibu mengeluhkan itu saat bertemu teman-teman perempuannya di
arena boling mingguan," kata LaNeeca.
Sebagai ahli, dia
menceritakan hasil studi bahwa perempuan bergaji rendah karena pendidikan. Juga
karena bekerjanya kurang maksimal karena merawat rumah tangga. Atau karena
perempuan itu sendiri mengambil pekerjaan yang bergaji rendah. Tapi, papar dia,
hasil studi yang sama juga mengakui kalaupun semuanya setara, tetap saja gaji
perempuan lebih rendah.
Kalau perempuan kulit
putih hanya dibayar 78 persen dari laki-laki, perempuan nonkulit putih lebih
parah lagi. Menurut hasil studi itu, perempuan dari ras Hawaii dan Kepulauan
Pasifik hanya menerima 65 persen. Perempuan kulit hitam hanya 64 persen.
Perempuan American Indian hanya 55 persen. Dan perempuan Amerika Latin hanya 54
persen. "Bahkan, gaji pekerja perempuan yang resmi pun kalah dengan
pekerja gelap laki-laki," terang dia.
Beberapa kali
menghadiri seminar di Evansville, Indiana (sesekali jadi pembicara), baru
sekali ini saya tersenyum-senyum kaget. Kok Amerika, kampiunnya segala hal, termasuk
kampiun dalam demokrasi dan hak-hak asasi manusia, ternyata masih menyisakan
masalah emansipasi seperti itu. Memang, seperti LaNecca akui, keadaan sekarang
sudah lebih baik. Misalnya dibanding saat ibunya masih jadi pekerja. Tapi,
perkembangan perbaikannya sangat lambat. "Kalau tren perbaikannya seperti
itu, baru 50 tahun lagi terjadi persamaan gaji," kata Erica Taylor.
Gerakan persamaan gaji
itu dilakukan serentak 14 April lalu di seluruh Amerika. Bahkan, mereka
menyebut-nyebut perbedaan gaji itu juga terjadi di"Gedung Putih, istana
Presiden Barack Obama. Tapi, juru bicara Gedung Putih mengatakan bahwa
perbedaan gaji itu kini sudah lebih kecil."
Rupanya Obama pengin
menjadi gong dalam perkara ini. Tanggal 14 April lalu dia angkat bicara.
"Saya proklamasikan Selasa hari ini sebagai hari persamaan gaji antara
pekerja laki-laki dan perempuan," katanya. "Tiap hari Selasa adalah
hari persamaan gaji," katanya seperti dikutip luas di berbagai media.
Dan ini kata Erica
Taylor, "Saya juga berharap inilah tahun terakhir kami pakai baju
merah." (*)
No comments:
Post a Comment